Table of Content

Teori Retorika Aristoteles: Pengertian dan Asumsi Retorika

Siapa sih yang tidak mengenal filsuf Yunani sekaligus guru dari Alexander Agung? Yap, dia adalah Aristoteles. Seorang laki-laki yang dulunya juga berguru kepada Plato saat berada di Athena. Aristoteles menghabiskan waktu selama 20 tahun untuk belajar kepada Plato. 

Aristoteles—selama hidupnya, kerap menelurkan tulisan tentang filsafat dan beberapa ilmu lainnya seperti psikologi, biologi, politik, etika, dan juga fisika.  Paling dikenal dari sosoknya adalah tentang ilmu filsafat yang dibaginya menjadi empat persoalan yaitu metafisika, fisika, logika, dan pengetahuan praktis. Analisis tentang filsafat ini dilakukannya dengan memakai silogisme. 

Pemikirannya yang berillian memanfaatkan cara deduktif yang dijadikannya sebagai dasar dari logika formal. Aristoteles memang paling salah satu filsuf yang peduli pada tingkat baik dari sebuah kehidupan. Ia meyakini bahwa keberadaan ilmu memang ditujukan untuk mendukung sebuah kehidupan.  


Bagaimana tentang Teori Retorika milik Aristoteles?

Teori Retorika milik Aristoteles—yang mana berpusat pada pemikiran soal retorika itu sendiri yang biasanya disebut oleh Aristoteles sebagai alat persuasi. 

Intinya, teori ini menyebutkan bahwa efektivitas persuasi didefinitkan oleh kapasitas komunikator dalam mengirimkan bukti logika, emosi,  dan kredibilitas atau etika. 

Jika membahasa pengertian dari retorika itu sendiri, mengutip dari jurnal Sejarah dan Perkembangan Retorika (2005) karya Rajiyem, retorika berasal dari kata dalam Bahasa Inggris yang berarti  ‘rhetoric’, sumbernya berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu ‘rhetorica’. Jika digabungkan, maka artinya adalah ilmu berbicara.

Retorika gampangnya diartikan sebagai seni dalam berbicara baik yang digunakan saat berkomunikasi. Kenapa disebut berbicara baik? Karena meliputi kemampuan dalam berbicara dan berpidato secara jelas, singkat, padat, dan berkesan.


Asumsi Teori Retorika Aristoteles  

Dalam buku Introducing Communication Theory: Analysis and Application (2008) karya Richard West dan Lynn H. Turner, cakupan teori retorika ini luas sekali dalam dunia komunikasi. Meski demikian, teori retorika Aristoteles ini dipandu oleh dua patokan, yaitu pembicara yang efektif perlu mempertimbangkan pendapat publik mereka dan pembicara yang efektif harus menyertakan sejumlah bukti dalam tiap presentasi.

Asumsi 1: pembicara yang efektif perlu mempertimbangkan pendapat 
Kata Aristoteles,  hubungan pembicara dan khalayak harus dipertimbangkan. Yang berarti, para pembicara tidak boleh merangkai atau menyampaikan sebuah pidatonya tanpa mempertimbangkan khalayak mereka. 

Ini semacam menjaga perasaan publik, karena seorang pembicara pastilah tahu kepada siapa ia akan berhadapan. Pembicara perlu memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang yang mempunyai pilihan, keputusan, serta motivasi, bukannya dianggap sebagai kelompok yang hompogen, rata, dan serupa.  

Asumsi 2: pembicara yang efektif diharuskan menyertakan sejumlah bukti dalam presentasinya
Kembali ke entitas-entitas yang didefinitkan oleh komunikator, bukti yang dimaksud pada asumsi kedua ini ialah berhubungan dengan logika, emosi, dan etika atau kredibilitas.
Bukti-bukti tersebut berhubungan dengan ethos (etika atau kredibilitas), pathos (emosi), dan logos (logika).

Etika yang dimaksudkan ini merujuk pada intelgigensi, karakter, juga niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara saat tengah berpidato.

Sedangkan emosi atau bisa dikenal sebagai Panthos ialah perasaan yang dikeluarkan oleh pendengar dan merupakan bukti emosional. 

Kemudian Logos atau logika, ini merujuk kepada bukti logis yang pembicara gumakan. Menurut Aristoteles, logos ini meliputi penggunaan beberapa praktik, seperti halnya klaim logis dan juga penggunaan bahasa yang jelas.


Kesimpulan

Jadi kesimpulannya, teori retorika Aristoteles menjelaskan bahwa retorika berfungsi sebagai alat persuasi, pantasnya didasarkan pada ethos atau etika, pathos atau emosi, dan logos atau logika. Teori tersebut pun juga menjelaskan bahwa pembicara perlu mempertimbangkan khalayaknya sebaik mungkin sebelum benar-benar berpidato.